Jakarta - Ketika saya melempar twit berisi permintaan rekomendasi makanan enak di Sumatera Barat beberapa waktu lalu, sejumlah teman kompak menjawab: gulai itik lada hijau. Saya jadi penasaran, seistimewa apa sih sih gulai itik ini sampai jadi rekomendasi banyak orang? Kalau sempat, saya ingin membuktikannya sendiri. Ternyata warung gulai itik ini masuk dalam agenda wisata kuliner dari ACI detikcom, tentu saja berdasarkan rekomendasi Uni Miya. Waw, I love my guide!
To be honest, I’m not a big fan of duck. But for the sake of making a complete culinary review, I need to taste it. Kadang-kadang saya menganggap masakan dari itik itu pasti bau anyir. Kulit coklat dan bulu hitamnya yang kadang masih tersisa membuat saya makin geli. Saya pernah makan itik beberapa kali dan tidak kecewa dengan rasanya. But still, duck is kinda’ not my favourite.
Warung Ngarai yang menjual gulai itik nan terkenal itu terletak di Jalan Binuang, Bukit Tinggi. Belasan meter dari sana, kita bisa melihat Ngarai Sianok yang memesona itu. Oh ya, jangan lupa membaca artikel tentang Ngarai Sianok dari Anti partner saya itu ya!
“Nama resmi” si gulai itik adalah Gulai Itiak Lado Mudo. Makanan-makan di sini disajikan dengan cara dihidang ke meja dan pengunjung bebas memilih makanan yang disuka. Ada gulai itik, gulai ayam cabe hijau, dendeng batokok, daging cincang, timun dan kerupuk kulit. Tentu saja saya memilih menu bintang warung tersebut.
Kesan pertama saya tentang gulai itik ini memang baik. Bumbu cabe hijau yang cukup banyak dituang di atas paha itik. Aroma cabenya tercium dengan kuat, menghilangkan kekhawatiran saya akan bau anyir itik yang saya bayangkan sebelumnya. Dagingnya empuk sekali karena dimasak sampai matang.
Rupanya teman-teman lupa menyebut kata “pedas banget” ketika mendeskripsikan rasa makanan ini. Awalnya saya kira “hanya” sepedas sambal lado hijau yang biasa saya santap di rumah makan Padang. Benar saja kata Uni Miya, pedasnya baru terasa justru setelah makanan masuk ke kerongkongan. Pedas. Banget. Nggak heran, karena bumbunya merupakan campuran dari cabe hijau dan cabe rawit. Pantesan.
Gulai Itiak Lado Hijau di Ngarai Sianok telah memupus ketidaksukaan saya pada makanan dari itik. Kelezatannya membuat saya ingin menyantapnya lagi di sana, suatu hari nanti.
Nasi Kapau di Pasar Ateh
Jumat siang, kami bergerak kembali menuju Pasar Ateh Bukittinggi untuk menyantap nasi kapau di sana. Banyak nasi kapau di tempat lain, tapi Uni Miya merekomendasikan buatan Uni Lis ini. Lagi-lagi, rekomendasi ini setali tiga uang dengan rekomendasi dari teman-teman.
Uni Miya menjelaskan perbedaan nasi Kapau dengan nasi Padang pada umumnya. Nasi Kapau yang berasal dari daerah Kapau ini tidak disajikan dengan cara dihidang ke meja. Pengunjung memilih lauk yang diinginkan dan pedagang akan menyajikan ke dalam piring. Porsi nasi Kapau juga lebih besar, tidak seperti nasi Padang yang pada umumnya sedikit. Ukuran lauknya juga lebih besar.
Perbedaan utama lainnya adalah pada bumbu nasi Kapau yang lebih kuat dan spicy dibanding bumbu-bumbu pada masakan Padang. Apakah ada perbedaan lainnya? Bila ada, tolong sampaikan di kolom komentar ya!
Ini kesekian kalinya saya dipuaskan oleh makanan-makanan di Bukittinggi. Gulai kikil yang saya pilih rupanya salah satu menu andalan rumah makan tersebut. Ukurannya –seperti saya duga- besar dan mengenyangkan. Bumbunya kuat dan spicy seperti yang sudah diperkirakan. Enak dan pedasnya membuat saya bangun untuk meminta tambahan bumbu dan sambal lado ketika nasi baru habis setengahnya.
Wisata kuliner di Bukittinggi memang sungguh menyenangkan lagi mengenyangkan. Dari perut naik ke hati. Hati saya jatuh di Bukittinggi, surga dunia untuk makanan enak yang membuat tubuh saya semakin berisi.
Program Aku Cinta Indonesia ini didukung penuh oleh XL, Sinarmas, Nexian,
Garuda Indonesia, dan Optik Seis.
(tbs/tbs)
Sumber : http://www.detiknews.com
0 komentar:
Posting Komentar